Revisi UU Advokat: Perlu dilakukan revisi terhadap UU No. 18 Tahun 2003 untuk memberikan kejelasan mengenai status OA, termasuk pengaturan pluralitas OA sesuai Putusan MK Nomor 112/PUU-XII/2014 dan 36/PUU-XIII/2015. Salah satu solusi yang dapat dilakukan dengan membentuk Dewan Advokat Nasional.
Belum lama ini, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, memberikan pernyataan terkait status organisasi advokat (OA) sebagai lembaga negara (state organ) yang harus bersifat tunggal. Pernyataan tersebut disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang digelar pada 5-6 Desember 2024 di Bali.
Yusril mengemukakan organisasi advokat, sebagaimana lembaga negara lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan, seharusnya bersifat tunggal. Menurut Yusril, organisasi advokat memiliki peran strategis dalam sistem penegakan hukum, sehingga keberadaan yang terfragmentasi ke dalam berbagai organisasi dinilai dapat menimbulkan permasalahan koordinasi dan efektivitas dalam menjalankan fungsi advokasi.
Pandangan itu menimbulkan perdebatan yang cukup signifikan. Beberapa organisasi advokat menyatakan ketidaksetujuan terhadap anggapan bahwa mereka adalah lembaga negara. Mereka berpendapat OA merupakan lembaga mandiri yang menjalankan profesi advokat sebagai penegak hukum berdasarkan prinsip-prinsip independensi dan otonomi profesi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat).
Organisasi Advokat di Indonesia Bukan Lembaga Negara
Permasalahan utama yang muncul dari pernyataan bahwa organisasi advokat (OA) adalah lembaga negara berkaitan status hukum OA sebagaimana diatur UU Advokat. Dalam kerangka hukum tata negara, lembaga negara secara konseptual terbagi menjadi dua kategori: lembaga negara utama (primary state organs) atau Primary Constitutional Organs dan lembaga negara bantu (auxiliary state organs) (Jimly Asshiddiqie, 2006). Kedua jenis lembaga ini memiliki karakteristik dan landasan hukum yang berbeda, tetapi memiliki kesamaan dalam hal pendirian dan fungsi berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Lembaga negara utama (primary state organs) adalah lembaga yang secara eksplisit disebut dalam konstitusi menjalankan fungsi utama negara, seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Contohnya adalah Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, dan Badan-Badan Peradilan di Bawahnya, serta Mahkamah Konstitusi. Sedangkan Lembaga negara bantu (auxiliary state organs), baik disebutkan maupun tidak disebutkan dalam konstitusi, dibentuk oleh peraturan perundang-undangan untuk membantu pelaksanaan fungsi negara yang utama. Contoh lembaga ini, seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), atau Ombudsman.
Jika OA dianggap sebagai lembaga negara, implikasinya pendirian OA harus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, bukan melalui mekanisme pembentukan badan hukum perdata seperti yayasan, perkumpulan, atau badan hukum perdata lainnya. Peraturan pendirian harus memuat kewenangan, tugas, dan fungsi OA, termasuk pengaturan mengenai strukturnya yang hierarkis dan keseragamannya sebagai lembaga negara. OA akan berada di bawah pengawasan negara secara langsung dan memiliki fungsi serta kewenangan yang dijabarkan dalam peraturan tersebut.
Namun, dalam praktiknya, OA saat ini termasuk Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) didirikan sebagai badan hukum perdata berbasis keanggotaan, yang mengindikasikan statusnya bukan lembaga negara, melainkan organisasi mandiri yang bersifat privat. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang mendefinisikan advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, bukan sebagai bagian dari struktur negara.
Dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat diatur bahwa Organisasi Advokat (OA) merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bersifat independen dan tidak terikat, yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat. Meski demikian, kenyataan hukum dan praktik di lapangan menunjukkan kompleksitas yang perlu ditelaah lebih lanjut, terutama terkait pluralitas organisasi advokat di Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 112/PUU-XII/2014 dan 36/PUU-XIII/2015 memberikan pengaruh signifikan terhadap interpretasi hukum terkait organisasi advokat.
Dalam putusan tersebut, frasa “di sidang terbuka Pengadilan Tinggi” pada Pasal 4 ayat (1) UU Advokat dinyatakan bertentangan dengan UUD NKRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. MK menegaskan bahwa Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah para advokat tanpa mengaitkan keanggotaan mereka dengan organisasi advokat tertentu, seperti Peradi atau Kongres Advokat Indonesia (KAI). Terlebih, Pasal 28E UUD NRI 1945 menjamin kebebasan berserikat, sehingga menutup peluang organisasi advokat lain (untuk mendirikan organisasi, red) dapat dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Putusan ini membuka peluang pluralisme OA di Indonesia, sekaligus menegaskan bahwa kewajiban negara (melalui Pengadilan Tinggi) dalam pengambilan sumpah advokat bersifat netral terhadap organisasi manapun. Saat ini, secara faktual OA di Indonesia tidak lagi terbatas pada Peradi dan KAI. Beberapa organisasi lain, seperti IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia), Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI), dan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), juga hadir dan diakui secara de facto.
Source : hukumonline.com